
Membaca buku karangan Pak DK Halim, dan beberapa buku yang memaparkan tentang fenomena sosial (manusia) dalam suatu ruang membuat saya berpikir dan sadar, bahwa tantangan perencanaan di Indonesia ternyata tidak hanya terletak pada penataan secara rupa, melainkan juga isi.
Dalam bukunya "Psikologi Lingkungan Perkotaan", DK Halim, mencoba untuk beranalogi mengenai suatu perilaku yang dialami oleh manusia dalam suatu ruang khususnya perkotaan. Manusia di kota bak tikus dalam labirin. Jauh memang untuk menghubungkannya tapi ada benarnya juga ternyata bahwa memang itulah yang sekarang terjadi dalam ruang kota kita. Jalan - jalan dibuat bercabang - cabang dengan penunjuk yang tak karuan, sistem mobilitas kota yang semrawut, sampai dengan pemanfaatan lahan perkotaan.
Bayangkan saja, orang yang sudah lama tinggal di kota seperti Jakarta pun kadang - kadang tidak memahami tentang kondisi kota yang telah menjadi tempat tinggalnya itu. Agaknya, perlu diadakan sebuah kajian yang melibatkan pengelola kota dengan pakar sikologi bidang ruang untuk membicarakan persoalan ini lebih jauh.
Saya secara pribadipun mulai merasa strees (baca pusing) saat harus melewati jalan - jalan penuh sesak, padat, semrawut, ugal - ugalan saat saya menuju ke kampus atau sekadar keluar kosan. Mungkin hal ini tidak hanya saya rasakan, tapi juga dirasakan oleh hampir seluruh manusia yang berjubel beraktivitas di kota, hanya saja pemahaman mereka berbeda, kalo istilah konyolnya "yo wis anane, kon piye?".
Membangun Citra Kota dari Menata Sikologi Masyarakatnya
Hanya sebuah opini: Di Indonesia ini masyarakatnya multi kultur, mereka memiliki suatu dasar pemikiran yang berbeda - beda satu sama lain. Kultur masyarakat yang menginginkan kemajuan (modernisasi) menganggap pengadaan fasiltitas yang praktis, efisien, modern adalah impian termasuk perumahan, layanan perdagangan (mall), dan pengadaan transportasi umum, kultur masyarakat yang semi-modern menginginkan perubahan itu bertahap mengikuti zaman, diharapkan dari sini masyarakat akan belajar menjadi masyarakat pra-modern yang tidak terlalu ketinggalan zaman, dan terakhir masyarakat yang masih rural (village society) adalah kelompok masyarakat yang secara kultural masih konsisten terhadap kebiasaan - kebiasaan nenek moyang (rural), mereka ini merasa merendah sebagai wong ndeso, walaupun mereka sebenarnya telah mengenal modernisasi.
Agaknya, itulah yang sekarang perlu menjadi perhatian pemerintah sebagai institusi yang berwenang mengatur kehidupan sosial masyarakatnya. Pembentukan karakter masyarakatnya harus dibangun berdasarkan nilai - nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. Jangan sampai salah menempatkan Grand Mall di tengah - tengah kompleks sekolah, atau kompleks permukiman agamis, dsb. Sulit memang, namun itulah yang kini harus diupayakan. Memberi suatu pemikiran serta arahan yang jelas tentang aturan, fungsi serta sangsi kiranya mampu dilakukan sebagai fondasi membenahi perilaku sikologi masyarakat kota. Apabila mereka telah paham dan mengerti, barulah pemerintah menindaklanjuti dengan penerapan program penataan ruang yang sesuai dengan arahan yang telah diberikan kepada masyarakat setempat, sehingga masyarakat setempat mempu menerima dengan baik tanpa kecacatan. Jika hal ini dapat dijalankan, selanjutnya perlahan menata potensi berdasarkan karaketristik kota sebagai awal untuk membentuk citra sebuah kota.
Bayangkan saja, orang yang sudah lama tinggal di kota seperti Jakarta pun kadang - kadang tidak memahami tentang kondisi kota yang telah menjadi tempat tinggalnya itu. Agaknya, perlu diadakan sebuah kajian yang melibatkan pengelola kota dengan pakar sikologi bidang ruang untuk membicarakan persoalan ini lebih jauh.
Saya secara pribadipun mulai merasa strees (baca pusing) saat harus melewati jalan - jalan penuh sesak, padat, semrawut, ugal - ugalan saat saya menuju ke kampus atau sekadar keluar kosan. Mungkin hal ini tidak hanya saya rasakan, tapi juga dirasakan oleh hampir seluruh manusia yang berjubel beraktivitas di kota, hanya saja pemahaman mereka berbeda, kalo istilah konyolnya "yo wis anane, kon piye?".
Membangun Citra Kota dari Menata Sikologi Masyarakatnya
Hanya sebuah opini: Di Indonesia ini masyarakatnya multi kultur, mereka memiliki suatu dasar pemikiran yang berbeda - beda satu sama lain. Kultur masyarakat yang menginginkan kemajuan (modernisasi) menganggap pengadaan fasiltitas yang praktis, efisien, modern adalah impian termasuk perumahan, layanan perdagangan (mall), dan pengadaan transportasi umum, kultur masyarakat yang semi-modern menginginkan perubahan itu bertahap mengikuti zaman, diharapkan dari sini masyarakat akan belajar menjadi masyarakat pra-modern yang tidak terlalu ketinggalan zaman, dan terakhir masyarakat yang masih rural (village society) adalah kelompok masyarakat yang secara kultural masih konsisten terhadap kebiasaan - kebiasaan nenek moyang (rural), mereka ini merasa merendah sebagai wong ndeso, walaupun mereka sebenarnya telah mengenal modernisasi.
Agaknya, itulah yang sekarang perlu menjadi perhatian pemerintah sebagai institusi yang berwenang mengatur kehidupan sosial masyarakatnya. Pembentukan karakter masyarakatnya harus dibangun berdasarkan nilai - nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. Jangan sampai salah menempatkan Grand Mall di tengah - tengah kompleks sekolah, atau kompleks permukiman agamis, dsb. Sulit memang, namun itulah yang kini harus diupayakan. Memberi suatu pemikiran serta arahan yang jelas tentang aturan, fungsi serta sangsi kiranya mampu dilakukan sebagai fondasi membenahi perilaku sikologi masyarakat kota. Apabila mereka telah paham dan mengerti, barulah pemerintah menindaklanjuti dengan penerapan program penataan ruang yang sesuai dengan arahan yang telah diberikan kepada masyarakat setempat, sehingga masyarakat setempat mempu menerima dengan baik tanpa kecacatan. Jika hal ini dapat dijalankan, selanjutnya perlahan menata potensi berdasarkan karaketristik kota sebagai awal untuk membentuk citra sebuah kota.
